Awalnya banyak pakar menduga alasan orang cenderung menyukai sesama
jenisnya adalah karena adanya 'gen gay' di dalam dirinya. Namun sebuah
studi baru mengungkapkan temuan itu tidaklah akurat. Menurut studi ini
ada proses tertentu bernama epigenetik yang bisa menjelaskan mengapa
homoseksualitas terjadi dalam sebuah keluarga.
Definisi epigenetik adalah perubahan turunan (terjadi secara
turun-temurun) yang disebabkan oleh faktor-faktor selain DNA. Dengan
kata lain, epigenetik menunjukkan bahwa gen-gen itu diatur sedemikian
rupa agar bisa 'menyala' atau 'mati'. Pengaturan genetik inilah yang
diduga peneliti menjadi alasan di balik adanya homoseksualitas.
Kesimpulan ini diperoleh setelah peneliti memfokuskan pengamatannya pada
penanda epigenetik (epi-marks) yaitu perubahan molekuler yang bertindak
sebagai 'saklar' sementara untuk menyalakan atau mematikan gen. Menurut
National Institute for Mathematical and Biological Synthesis, epi-marks
juga menentukan kapan, di mana dan bagaimana sebuah gen diekspresikan.
"'Saklar' molekuler ini biasanya terhapus di awal proses perkembangan
janin tapi mereka bisa saja diturunkan dari generasi ke generasi,"
terang peneliti William Rice, seorang pakar genetika evolusioner dari
University of California, Santa Barbara, AS seperti dikutip dari
Foxnews, Kamis (13/12/2012).
Bahkan sejumlah epi-marks memiliki fungsi yang sangat penting dalam
perkembangan janin, terutama mendorong perkembangan fisik alat kelamin
si janin secara normal kendati jumlah hormon testosterone di dalam rahim
ibu bervariasi selama masa kehamilan.
"Di awal perkembangan janin, kami menduga epi-marks ini menentukan agar
janin perempuan menjadi relatif tidak sensitif terhadap testosterone dan
janin laki-laki relatif sensitif terhadap testosterone," tutur Rice.
Namun jika epi-mark dari ibu yang membuatnya kurang sensitif dari
paparan testosterone tinggi ini ternyata diwariskan ke anak laki-lakinya
(jenis kelamin yang berlawanan) saat proses perkembangan janin maka
kondisi ini akan menurunkan sensitivitas si janin terhadap testosterone
sehingga preferensi seksual si janin akan cenderung mengarah ke pria.
Hal serupa juga terjadi pada janin perempuan ketika epi-mark yang
spesifik dari ayah dan bersifat sensitif terhadap testosterone
diturunkan ke putrinya. Preferensi seksual si anak akan menjadi maskulin
sehingga dia menjadi lebih tertarik kepada wanita.
Dengan kata lain paparan testosterone yang terlalu banyak akan
menyebabkan alat kelamin, otak dan perilaku pada janin perempuan menjadi
ter-maskulinisasi. Begitu juga sebaliknya, terlalu sedikit paparan
testosterone menyebabkan janin laki-laki menjadi ter-feminisasi. Yang
perlu digarisbawahi, feminisasi dan maskulinisasi hanya merujuk pada
orientasi seksual, bukannya karakteristik fisik atau kepribadian si
anak.
"Hanya saja hingga kini para pakar belum sepakat seberapa banyak kadar
paparan testosterone pada janin laki-laki maupun perempuan yang dianggap
mempengaruhi maskulin atau feminin tidaknya janin itu," pungkas Rice.
Sumber : Detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar