Jakarta, Di Indonesia tidak ada jamu yang khusus untuk
aborsi. Tapi pelaku aborsi biasanya menggunakan jamu telat datang bulan,
jamu pelancar haid atau jamu peluruh untuk menggugurkan kandungannya.
Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mencatat jamu-jamuan untuk telat
datang bulan atau pelancar haid kerap digunakan untuk aborsi.
"Banyak
yang mencoba terminasi dengan jamu-jamuan. Jamu-jamuan kan nggak ada
aturannya. Ini seharusnya peran pemerintah, mengapa aborsi tidak
diperbolehkan tapi seperti jamu-jamuan itu tidak ada aturannya. Jadi
seolah-olah mudah sekali mencari cara untuk aborsi karena itu banyak
dijual bebas di toko obat. Seharusnya penjualan jamu-jamu seperti itu
juga diatur," jelas Inne Silviane, Direktur Eksekutif PKBI Pusat, saat
dihubungi detikHealth, Rabu (30/5/2012).
Selain jamu-jamuan yang banyak ditemui di warung jamu, obat-obatan anti prostaglandin juga digunakan oleh pelaku aborsi.
Prostaglandin
adalah sejenis bahan kimia yang terjadi secara alami dalam tubuh yang
mengatur ketegangan otot, termasuk kontraksi dan relaksasi otot. Obat
ini biasanya harus dihindari oleh wanita hamil karena bisa memicu
kontraksi rahim.
Sayangnya, jamu dan obat-obat yang dilarang
untuk wanita hamil justru dimanfaatkan oleh wanita yang mengalami
kehamilan tak diinginkan untuk praktek aborsi tidak aman.
Salah
satu obat yang sering dipakai untuk aborsi adalah 'M', yang di Indonesia
dipasarkan dengan nama dagang 'C'. Obat ini termasuk obat keras dan
hanya bisa dibeli dengan resep dokter, namun kenyataanya banyak yang
menjualnya di toko-toko obat maupun di situs internet.
"Menurut
laporan kami, aborsi paling sering pakai obat. Tapi banyak juga yang
gagal karena obatnya kedaluwarsa atau karena tertipu. Kadang sudah
transfer uang, tapi obatnya tidak pernah dikirim," kata Inna Hudaya,
seorang konselor bagi pelaku aborsi saat dihubungi detiHealth.
Padahal
kalau dipakai dengan benar di bawah pengawasan dokter, aborsi dengan
obat 'M' sebenarnya sama efektifnya dengan kuret hingga usia kehamilan 6
minggu. Di atas usia 6 minggu, kuret lebih efektif menghentikan
kehamilan meski obat-obatan masih bisa memberikan efektifitas hingga 85
persen.
Menurut Inna, pilihan metode dan tempat untuk aborsi
banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan status ekonomi. Kaum
terpelajar dari kalangan menengah ke atas biasanya memilih pertolongan
medis seperti dokter atau bidan, baik dengan obat maupun tindakan lain
seperti kuret.
Sebaliknya di kalangan masyarakat kurang mampu dan
berpendidikan pas-pasan, dukun serta tukang pijat lebih sering menjadi
pilihan.
Jenis ramuan serta metode yang digunakan biasanya sangat
ekstrem, sehingga tidak dianjurkan karena bisa membahayakan nyawa ibu
dan janin dalam kandungannya.
Menurut Maria, seorang bidan yang
ditemui detikHealth, pelaku aborsi baru akan mendatangi dokter atau
bidan ketika obat-obatan atau jamu-jamuan yang diminum tidak mempan.
"Biasanya
pelaku aborsi yang menggunakan jamu atau obat-obatan menggunakan dosis
yang tinggi, begitu ada perdarahan baru mereka datang mencari bantuan
medis," kata bidan Maria yang mengaku sering menangani ibu rumah tangga
yang gagal aborsi setelah minum jamu.
Kebanyakan menurut bidan
Maria, si pelaku aborsi berharap janinnya keluar dengan hanya minum jamu
atau obat-obatan. Tapi beberapa kasus untuk perempuan yang rahimnya
kuat hal itu tidak terjadi.
"Untuk yang rahimnya kuat, prosesnya
terjadi di dalam, janinnya tidak berkembang dan lama-lama mati atau
daging yang tertinggal bisa menjadi kista atau tumor sehingga harus
dilakukan kuret," ujarnya.
Apapun metodenya dan dimanapun
tempatnya, aborsi tetap bukan pilihan terbaik untuk dijalani. Agar tidak
perlu terjebak dalam pilihan yang serba tidak enak ini, salah satu cara
yang bisa dilakukan adalah sebisa mungkin menghindari kehamilan yang
tidak direncanakan.
Sumber : DetikHealth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar