Jakarta, Anak adalah titipan Tuhan dan anugerah yang indah dalam sebuah
perkawinan. Jika ada masalah dengan kesuburan, seringkali yang jadi
kambing hitam adalah istri.
Tuduhan ini tidak selamanya benar karena sperma juga ikut andil dalam
pembuahan. Bahkan, berbagai penelitian menunjukkan bahwa jumlah sperma
yang dihasilkan pria makin menurun dari tahun ke tahun.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, jumlah rata-rata sperma
pria adalah sebanyak 20 - 40 juta per mililiter tiap kali ejakulasi.
Namun beberapa tahun belakangan jumlahnya terus mengalami penurunan.
Maraknya kasus sulit memiliki keturunan akhir-akhir ini ditemukan juga
jawabannya oleh para ahli, jumlah sperma yang rendah pada kaum
laki-laki.
Sinyal bahaya pertama kali diketahui pada tahun 1990-an lewat sebuah
penelitian yang kontroversial di Denmark.
Kesimpulan penelitian menyatakan bahwa jumlah sperma menurun drastis
tiap tahun sehingga hanya tersisa sedikit sperma yang bisa dihasilkan
seorang pria dalam waktu 50 tahun.
Penelitian ini bukan isapan jempol belaka. Dr Shanna Swan, ahli
epidemiologi reproduksi di Mount Sinai School of Medicine di New York
City menganalisis data yang digunakan dalam penelitian asal Denmark
tersebut dan berujung hasil yang sama.
Swan menemukan bahwa jumlah sperma beberapa orang yang dianggap berada
dalam usia prima dalam kehidupannya cukup rendah. Jumlah sperma
laki-laki mengalami penurunan sebesar 1,5% di Amerika Serikat dan 3% di
Eropa dan Australia.
Tahun 2011 lalu, Swan meneliti para pria di universitas dan perguruan
tinggi di Rochester, New York. Ia menemukan bahwa 23% pria yang diteliti
memiliki jumlah sperma yang rendah sampai-sampai sudah perlu menemui
dokter kesuburan. Menurut Swan, kecenderungan ini diduga ada hubungannya
dengan penggunaan bahan kimia.
"Bahan kimia banyak membanjiri produk rumah tangga. Ada 80.000 bahan
kimia di sekitar kita, tapi hanya beberapa yang sudah teruji. Tidak
diragukan lagi bahwa pestisida mengurangi jumlah sperma. Pertanyaannya
adalah berapa banyak paparan yang diterima sehingga dapat menyebabkan
kerusakan?" kata Swan seperti dilansir GlobalNews.ca, Kamis (24/5/2012).
Meskipun demikian, penurunan jumlah sperma secara global ini belum
meresahkan beberapa pihak. Dr Bernard Robaire dari McGill University
mengatakan bahwa bukan kuantitas yang lebih penting, melainkan kualitas
sperma.
Menurutnya, ada kasus di mana pria dengan jumlah sperma yang sedikit
dapat mendapatkan keturunan secara alami sementara pria dengan jumlah
sperma yang lebih banyak justru tak kunjung dapat keturunan.
"Jika punya sperma sedikit namun sangat tinggi dalam kualitasnya, maka
DNA-nya tidak akan rusak. Sperma ini bisa membuahi dan mengenali sel
telur," kata Dr Robaire.
Para ilmuwan tidak mungkin dapat memperbaiki kerusakan yang diakibatkan
paparan bahan kimia ini. Tetapi ilmuwan berupaya menemukan cara untuk
mengatasi kemandulan dengan teknologi.
Lewat bayi tabung, ilmuwan dapat memungkinkan pria dengan jumlah sperma
yang rendah untuk memiliki keturunan dari istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar